Oleh : Imam Alfian
Boleh jadi kita
sebagai bangsa belum berdaulat secara utuh. Situasi kebangsaan saat ini,
yang semakin carut-marut seakan menjadi variable menguatnya
etno-nasionalisme yang menggerus eksistensi United Nation kita sebagai
sebuah bangsa. Asumsi ini boleh saja di lontarkan karena pada dasarnya
Falsafah keIndonesia-an kita lahir, atau berangkat dari etno nasionalisme
ke-daerahan.
Hanya kemudian ada faktor-faktor seperti melawan
penjajahan/kolonialisme, yang terjadi masif di daerah-daerah, yang
mengasosiasikan seluruh etno nasionalisme kedaerahan ini, menjadi satu
rasa nasionalisme untuk meraih kemerdekaan, sebagai sebuah entitas bangsa
yang berdaulat pada saat itu. Di sisi lain beberapa daerah, merasa mereka dipaksakan menjadi bagian
dari NKRI dan merasa tidak turun andil dalam memperjuangkan bahkan
membentuk Negara Indonesia.
Menguatnya etno
nasionalisme atau ego kedaerahan ini, disebabkan karena Negara sudah
tidak mampu menjadi solusi atas segala persoalan kebangsaan. Masyarakat
lebih memilih menyelesaikan persoalan pada tataran Budaya daerah, agama
dan lain-lain, bukan kepada pemerintahan. Malah yang menjadi miris adalah dibeberapa daerah, pemerintah dengan segala aturannya justru menjadi
masalah.
Seperti di Papua, segala kebijakan pembangunan
pemerintah malah menyebabkan kegaduhan-kegaduhan, contoh kebijakan
transmigrasi yang dinilai mendegradasi eksistensi masyarakat lokal, yang berdampak menimbulkan dikotomi antara masyarakat asli dan masyarakat
pendatang. Konsekuensi logisnya yaitu, menyebabkan terjadi konflik horisontal. Padahal jika kita
berbicara konsep United Nation harusnya tidak ada dikotomi, antara
masyarakat lokal dan masyarakat asli, dibeberapa daerahpun demikian.
Bung Karno pernah mengajarkan pada bangsa Indonesia, bahwa "a nation
divided against itself cannot stand". Satu bangsa yang pecah, ke dalam
tidak dapat tegak berdiri. Tentu saja ini memberikan pertanyaan besar
seperti apa konsep filosofi kebangsaan kita?. Bila kita jujur, NKRI
mengalami semacam kerapuhan politik. Negara kepulauan yang begitu besar
dengan keragaman agama, ras, dan etnik serta tradisi yang berlainan
memerlukan usaha tanpa henti agar Bhineka Tunggal Ika itu benar-benar
menjadi realitas kehidupan bangsa. Lantas bagaimana cara kita dalam
membentuk visi kebangsaan kita yang begitu kompleks ini?.
Jika kita
menengok ke negara negara adikuasa seperti Amerika/USA, dan
Rusia/Uni Soviet. Perbedaan historis, sosial, dan kultural antara
negara-negara bagian yang kemudian, mereka menganut sistem federasi,
lantas kita mesti bercermin ke negara2 tersebut? Jawabnya boleh jadi.
Sistem federasi sudah semi diterapkan di Indonesia melalui UU Otonomi
Daerah, melalui sistem desentralisasi. Hanya saja konsep ini, juga bermasalah. Menyebabkan
ketimpangan antara Pusat Pemerintahan dan Daerah.
72 tahun sudah kita merdeka, sebagai sebuah negara berdaulat. Apakah kemerdekaan ini
hanya sebuah hegemoni melawan penjajah pada saat itu, atau merupakan
kesepakatan total secara bersama-sama seluruh daerah, budaya, suku,
dan ras di negara ini. Persoalannya, identitas kebangsaan kita, masih
menjadi pekerjaan rumah yang panjang untuk diselesaikan.
Menguatnya etno nasionalisme kedaerahan ini, menjadi fenomena politik yang mesti di pikirkan oleh pemerintah. Karena kenyataannya, simbolisasi pluralitas tidak mampu membingkai ego
sentrisme kedaerahan dan itu menjadi tantangan keutuhan negara, dikarena kan
tidak menutup kemungkinan etno nasionalisme bisa menyebabkan
disintegrasi bangsa. []
Penulis : Ketua DPD IMM Papua
Apa Kometar Anda?