Oleh: Rizkiani
Bahtiar
Tepat hari ini tangal 17 Agustus 2017 Indonesia yang bersemboyan
“Bhineka Tuggal Ika” merayakan hari
merdekanya yang ke 72 tahun. Masyarakat merayakan kemerdekaan negeri dengan
beragam cara, dari kelurahan hingga istana Negara. Merayakan kemerdekaan
merupakan hal yang wajib diberbagai daerah yang merupakan perwujudan
kemerdekaan atas penjajahan oleh bangsa belanda dan jepang yang kala itu
menjajah negeri seribu budaya ini.
Perayaan yang dimaksud setiap tahunnya beraneka ragam, namun yang
menjadi sorotan media adalah para pembawa bendera, para politisi yang hadir,
dan tontonan masyarakat yang antusias. Kini hari ini terulang-ulang yang
terjadi setiap tahunnya. Hari ini tepat di Istana Negara Jakarta para petinggi
negeri menggunakan baju daerah Indonesia, dan masyarakat menjadikannya sebagai
objek wisata.
Perayaan kini menjadikan rakyat lupa akan eksistensi sebuah
kemerdekaan. Dimana kini formalisasi akan kemerdekaan yang diagung agungan oleh
para petinggi dan pemimpin negeri. Bila kita melihat lebih dekat apa yang
terjadi hari ini seharusnya para ideologis mahasiswa membuka mata dan
telinganya dan menyuarakan suara-suara ketidakadilan kini. Tengoklah para
petinggi Negara menggunakan pakaian terbaik walaupun hal tersebut merupakan
contoh bahwa negeri memilki ragam budaya, namun disisi yang lain mereka
mempertontonkan harta dan kekayaannya dengan kemampuan mereka secara financial,
padahal di tempat lain ada banyak wanita, anak-anak kecil menggunakan pakaian
lusuh nan sobek-sobek. Adilkah itu?, merdekakah ini?.
Diluar Nampak agung dan gemerlap namun didalam tampak kumuh dan
kotor. Formalitas negeri menjadi hal yang difamiliarkan, seolah memutar balikkan keadaan bahwa kini negeri ini merdeka, bahwa
kini negeri ini makmur.
Adakah nasib beragam budaya akan bertahan apabila yang menggunakan
pakaian adat atau daerah tersebut oleh para petinggi dan kaum elitis negeri?.
Jawabannya tentu tidak. Sehingga perayaan hari ini, sejujurnya bukanlah
perayaan bagi seluruh rakyat melainkan perayaan para segelintir elit. Dipelosok
negeri menggunakan dan mengibarkan bendera sudah lebih cukup, namun bagi masyarakat penghuni
kolong jembatan, penghuni kardus-kardus kosong, para penghuni gubuk reyot tidak
merayakanyna dengan menggunakan pakaian adat, tidak merayakannya dengan upacara
bendera. Yang ada dibenak mereka adalah bagaiaman perut dan dompet terisi.
Kini merdeka yang dimaksud hari ini harusnya telah diperbaharui,
secara fisik negeri ini tidak lagi dijajah oleh bangsa lain. Namun kini kita
tertindas dan dijajah secara ideology kapitalis, hedonis, dan sosialis. Hingga
tak heran MPR-RI melakukan sosialisasi dimana-mana guna mempertahankan 4 pilar
bangsa. Dan disisi yang lain masyarakat belum merasakan secara utuh merdeka
secara ekonomi, industry, politik, budaya, dan lain sebagainya. Harusnya kini
yang menjadi perayaan adalah perayaan bahwa indoensia bebas kelaparan, bebas
kemiskinan, bebas konflik, bebas bereksplorasi secara seni, dan bebas dalam memberikan
ruang kepada setiap individu dalam mencintai negerinya dalam arti yang benar.
Kini hari ini negeri ini hanyalah negeri sekadar merdeka, dimana
ketimpangan dan ketertindasan dimana-mana. Selamat hari merdeka dari bangsa
lain, namun tak merdeka dari substansi yang sebenarnya. Kelak tahun 2018 bukan
lagi uforia seperti hari ini, melainkan perayaan secara substansi bahwa negeri
ini merayakan bahwa masyarakat merdeka dari kelaparan, kemiskinan, dan merdeka
dari jajahan ideology. []
Penulis : Kabid
IMMawati DPD IMM Sultra
Apa Kometar Anda?